Petir memantak dari kepala merasuk hati seraya aku mengetahui kamu, di sana, tersakiti.
Topan badai menerpa arteri mengisi denyut nadi, menyadari kamu yang ada di luar jangkauanku, bersedih.
Rasanya soda api membasuh luka-luka ketika aku tahu kamu, yang tak tersentuh, sudah pergi.
Bahkan ketika kamu, yang kini bersamanya, bahagia, tetap saja terasa seperti hujan belati menghunus pori-pori hati.
Di sini sekarang aku coba bertahan, meski sambil menyeka luka yang harus kutekan.
Darahnya tidak berhenti mengalir, sakitnya tidak kunjung mangkir.
Lalu aku tanyakan pada diri sendiri, mengapa bisa sampai sejauh ini?
Aku terlalu ingin membahagiakanmu, sehingga tak rela kamu bahagia dengan selain aku.
Setiap sukamu dengannya, adalah bahagiaku yang terebut.
Setiap tawamu dengannya, setiap bagian jiwaku terenggut.
Setiap kudengar “Ini takdirmu dengannya,” kepasrahanku enggan manut.
Setiap terbayang klise tentang kamu, aku rela perjuangkanmu hingga nyawa dicabut.
Bertahan, terus berjalan, menuju kamu yang hati ini putuskan menjadi pilihan.
Meski compang-camping, terluka, setidaknya itu sebuah tanda bahwa aku selalu ada di sana, bahkan ketika kamu tak membutuhkan.
Dahaga yang mengemarau ini, cuma kamu yang bisa menyembuhkan.
Dan alasan mengapa aku bertahan sampai compang-camping, adalah demi kamu yang menjadi kesayangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar