Senangnya bisa kembali ke secarik kertas ini. Kertas digital yang
selalu menjadi cawan yang kemudian kutuangi ide, cerita, atau sekadar
curahan hati alam bawah sadar.
Terkadang, sebenarnya bukan terkadang, tapi selalu, aku selalu heran
ketika suatu rencana yang dibuat manusia bisa hancur begitu saja oleh
makhluk bernama ‘takdir’. Aku pernah mendengar sebuah pernyataan dari
seorang dosen berbunyi ‘semua yang terjadi pada kita 80% adalah akibat
perbuatan kita, 18% kondisi, dan 2% sisanya adalah takdir’. Jika dikaji
lebih dalam, persentase tadi sebenarnya seimbang karena masing-masing
pengaruh materi sesuai dengan kekuatannya. Biasanya kita baru
memperhatikan komposisi ini ketika keadaan tak sesuai dengan yang kita
inginkan. Dan ‘takdir’, sebagai persentase terkecil selalu menjadi
kambing hitam paling empuk, jika kita sudah tak bisa lagi menyalahkan
kondisi dan perbuatan kita sebagai persentase yang lebih besar.
“Nila setitik, rusak susu sebelanga,” peribahasa yang bisa aku ambil
untuk masalah ini. Keburukan selalu lebih kuat dari kebaikan. Namun
kebaikan selalu jadi pemenangnya, bukan?
Takdir, dengan persentase yang begitu rendah, bisa menjadi faktor
kuat pengubah kejadian. Kita pasti menyadari itu ketika keadaan tak
sesuai dengan apa yang kita inginkan. Bagaimana mungkin hanya dengan
sedikit sentuhan takdir, rencana yang hampir sempurna sekali pun bisa
porak-poranda? Itulah mengapa kubilang takdir itu kuat. Dengan
pengaruhnya yang begitu besar, lalu, apakah kita bisa bilang takdir
jahat? Jika tidak, mengapa pengaruhnya begitu besar seperti nila pada
susu? Jika ya, bukankah seharusnya kebaikan yang jadi pemenangnya?
Istilah ‘takdir’ diciptakan hanya agar manusia bisa menerima apa yang
tak bisa dikehendakinya. Tepatnya, agar manusia punya sesuatu untuk
disalahkan pada akhirnya jika kehendaknya tak terlaksana.
Takdir, juga yang mempertemukan kita, menghubungkan getaran-getaran
yang pada awalnya tak terdeskripsikan, getaran yang seolah berkata “aku
butuh kamu”. Hingga kita merumuskan rasa itu menjadi sebuah kebutuhan.
Rasa butuh yang biasa orang sebut “sayang”. Pernah kita mengklaim diri
kita tak akan berarti tanpa orang yang memenuhi kebutuhan kita. Namun
pada akhirnya, kita membutuhkan orang yang paling membutuhkan kita.
Sepasang kekasih tak mungkin lagi bisa bersama kalau di antara mereka
sudah tak lagi saling membutuhkan. Memang terkesan ‘memanfaatkan’, tapi
itu memang sifat dasar manusia, ingin kebutuhannya dipenuhi, yang
ujung-ujungnya agar merasa bahagia.
Seseorang yang membutuhkan kita bukanlah orang yang memanfaatkan
kita, karena memanfaatkan berarti mengambil keuntungan dari seseorang
yang sebenarnya tak terlalu kita butuhkan. Ketika menemui seseorang yang
membutuhkan kita, secara langsung atau tidak, kita akan membutuhkan
mereka juga. Karena tak ada artinya kelebihan kalau tak ada tempat untuk
menuangkannya, seperti cintaku yang berlebih ini, kepadamu.
Menemukan seseorang yang kita butuhkan itu seperti menemukan rumah
yang selama ini kita cari saat kita tersesat, karena rumah adalah tempat
yang paling kita butuhkan. Kita selalu merasa aman, nyaman, tenang
ketika berada di rumah. “Rumahku istanaku” terbukti bukan ungkapan omong
kosong.
Pada akhirnya, kita membutuhkan orang yang ketika kita menatapnya, kita merasa seperti di rumah.
Everytime I look at you, I’m home
Dan itu bukan karena perbuatanku, kondisi, ataupun takdir, melainkan ketiganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar