Senin, November 18, 2013
------
Perkenalkan, aku pria lancang yang mencintai anakmu. Pria ini mungkin tak sehebat Ayah. Tapi jika bicara soal ketulusan, aku berani menantang Ayah.
Mengapa aku mengirim surat ini kepada Ayah, bukannya Ibu? Karena Ayah sangat mirip dengan anakmu yang aku cintai (juga mirip seperti bukit di gurun), hangat, tapi sulit untuk ditaklukkan.
Tidak, aku tidak berniat menyuapmu dengan kata-kata berantakan di secarik kertas ini. Namun bolehkah aku menyuap Ayah dengan ketulusan dan kebahagiaan untuk anakmu?
—
Ah, maaf, Ayah. Aku memang bukan dari ‘kahyangan’ seperti Ayah. Aku juga bukan calon dewa pengungsi ‘kahyangan’ sana, seperti saingan-sainganku yang mencoba mendekati anakmu juga. Aku berpijak tegap di bumi, diterpa angin, ditusuk dingin. Hanya mencoba terbang, itu yang bisa aku lakukan untuk meraih bidadarimu. Aku tidak tahu pasti cara yang benar, hanya mengikuti apa kata hati.
Aku bukan Sun Go Kong yang bisa seenaknya naik ke kahyangan, apalagi aku bukan Jaka Tarub yang bisa dengan mudah menikahi bidadari. Aku hanya si pungguk, merindukan bulan. Mungkin dalam kisah ini, aku pungguk yang keras kepala dan enggan menyerah. Maaf jika itu menyebalkan.
—
Ayah, ingatkah saat anakmu berulang tahun? Aku datang magrib-magrib, maaf jika kurang sopan waktu itu. Jantungku sontak rasanya copot ketika aku mengucap salam, sosokmu yang muncul dari jendela. Rupanya Ayah waktu itu sedang bersiap ke masjid.
Itu terakhir kalinya aku mengunjungi ‘kahyangan,’ karena hingga kini aku hanya mencapai hampir ke ‘kahyangan,’ lalu kembali pulang ke bumi. Tapi apa yang tak bisa aku lupakan? Ucapan darimu, “Hati-hati di jalan,” yang membuat aku meleleh dan yakin bahwa tidak mustahil untuk terbang.
Calon kakek dari anak-anakku kelak, percayalah, anakmu mengenal aku. Aku memilihnya bukan karena dia dari ‘kahyangan,’ melainkan karena bisa menerima aku, manusia biasa ini, apa adanya.
—
Ayah, aku punya satu permintaan, mungkin terdengar seperti sebuah perjanjian. Jika ketulusanku dalam mencintai anakmu kalah darimu, dan jika aku menyakiti bidadari kecilmu, Ayah boleh langsung turun dari ‘kahyangan’ dan spontan menghunjam aku dengan belati kebencian terbesar dari langit.
Ayah, aku gugup ketika menuliskan surat ini. Tubuhku gemetar, mataku berkabut, aku tidak tahan. Kita baru bertemu tiga kali. Maaf jika mengecewakan. Namun kuharap kita diberi kesempatan untuk duduk berdua, berbicara.
—
Itu saja yang ingin aku sampaikan.
Salam untuk anakmu yang paling cantik.
Tertanda,
Manusia lancang yang ingin menjadi anakmu (juga)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar