Komentar itu muncul setelah Park mengatakan pertemuan tersebut tidak akan membawa hasil apa-apa bagi kedua belah pihak jika Tokyo menolak meminta maaf atas "kesalahan masa lalu".
Berbagai aksi penyiksaan selama masa penjajahan Jepang tahun 1910-1945 masih tetap menjadi sumber kemarahan dan kebencian di Korea Selatan, terutama perlakuan terhadap perempuan yang dipaksa bekerja sebagai "wanita penghibur" di rumah bordil militer Jepang pada masa perang.
"Kami sangat kecewa dengan keprihatinan itu disampaikan dalam wawancara dengan BBC," kata Deputi Sekretaris Kabinet Jepang Katsunobu Kato kepada wartawan.
"Jepang telah menjelaskan kepada Korea Selatan posisi kami dalam isu masa lalu seperti persepsi mengenai sejarah dan wanita penghibur, dan kami telah meminta mereka untuk menerimanya," kata Kato seperti dikutip AFP.
Politisi Jepang mengungkapkan kekesalan mengenai permintaan berulang dari pihak Korea Selatan soal permintaan maaf dari Jepang dan kesepakatan tahun 1965 untuk normalisasi hubungan yang mencakup pembayaran dalam jumlah besar kepada Seoul.
Abe dan Park, keduanya berkuasa sejak 12 bulan lalu, belum melakukan pertemuan resmi meski mereka sudah bertemu dalam beberapa agenda internasional.
"Korea Selatan adalah tetangga penting yang berbagi nilai serta kepentingan dasar dengan kita, jadi Jepang akan melanjutkan upaya membangun kerja sama," imbuh Kato.
"Perdana Menteri Abe selalu mengatakan kami seharusnya melakukan pertemuan puncak karena kita menghadapi masalah," katanya.
Dalam sebuah wawancara dengan BBC yang disiarkan Senin menjelang kunjungan ke Inggris, Park mengatakan isu mengenai interpretasi sejarah dan wanita penghibur belum "dipecahkan atau diatasi".
"Jika Jepang terus bertahan pada persepsi sejarah yang sama dan mengulang komentar-komentarnya yang dulu, lalu apa tujuan diadakannya pertemuan? Mungkin lebih baik tidak ada pertemuan itu," katanya.
"Jika mereka terus mengatakan tidak perlu meminta maaf, dan tidak perlu mengakui kesalahan masa lalu mereka, lalu apa yang bisa didapat dari pertemuan itu?"
Dalam pernyataan pada 1993 atas nama Sekretaris Kabinet Jepang masa itu Yohei Kono, Jepang menyampaikan "permintaan maaf tulus" kepada perempuan-perempuan yang dipaksa menjadi budak seks.
Tahun 1995 Jepang menyatakan bahwa itu "menyebabkan kerusakan dan penderitaan yang sangat besar bagi orang-orang di banyak negara, khususnya negara-negara Asia" pada paruh pertama abad ke-20.
Tomiichi Murayama, yang kemudian menjadi perdana menteri, menyatakan "penyesalan yang sangat mendalam" dan "permohonan maaf tulus."
Namun pengungkapan-pengungkapan politisi konservatif Jepang selanjutnya menimbulkan kemarahan, terutama di Seoul, yang berpendapat bahwa Tokyo tidak menunjukkan ketulusan.
Harian dari partai konservatif Sankei Shimbun pada Selasa mengatakan Kementerian Luar Negeri Jepang bulan lalu mengeluarkan dokumen yang menyatakan bahwa "sejak awal 1990-an Korea Selatan telah menyatakan sikapnya bahwa isu wanita penghibur tidak termasuk dalam kesepakatan kompensasi tahun 1965".
Dokumen tersebut menyatakan bahwa keputusan pengadilan konstitusi Korea Selatan pada 2011 yang memerintahkan Seoul untuk membuka kembali negosiasi dengan Tokyo mengenai kompensasi untuk wanita penghibur "bisa mengancam dasar-dasar hubungan Jepang-Korsel".
(Uu.S022)
View the original article here
Tidak ada komentar:
Posting Komentar